>

Pasuruan Lama Dalam Bingkai Sketsa

Apa di benak anda ketika mendengar kata "sketsa". 

Sebuah gambar diatas kertas, semacam ide atau gagasan yang dituangkan dalam bentuk karya dan tindakan, atau mungkin terbayang pada salah satu acara televisi swasta yang pernah tayang beberapa tahun lalu. Hehehe. Kali ini kami bercerita tentang sketsa dalam arti harfiahnya, yakni karya seni yang tertuang diatas kertas sebagai gambaran dokumentasi suatu tempat, peristiwa, atau kegiatan. 

Kebetulan hari libur panjang awal bulan lalu kami tidak mengagendakan traveling. Karena pada weekend itu saya kedatangan tamu-tamu istimewa dari Surabaya dan Jogja. Yaa, hobby sebagai travel sketcher tentu tidak jauh dengan kawan-kawan yang memiliki kesukaan sama bukan. Oleh karena itulah para sahabat penggiat urbansketch dan beberapa komunitas lain mengontak kami untuk berkegiatan di Pasuruan. Wah, senang rasanya kota Pasuruan dikunjungi orang-orang keren, dan sebagai tuan rumah yang baik, tentu saja saya memberi sambutan yang spesial buat mereka, termasuk siap untuk beradu skill sketsa diatas kertas. 


Memulai aktivitas pagi di sekitar Klenteng kota Pasuruan, saya menyambut kawan-kawan urbansketch dengan membahas rute sketsa di sekitar Pasuruan. Kebetulan pada gathering kali ini turut pula beberapa teman dari komunitas Pecinta Sejarah dan Urban Selfie. Maka target kami tentu saja mengunjungi spot-spot bangunan tua yang ada di sekitar pusat kota, dan kami memulai rute dari area sepanjang Stasiun berlanjut ke perempatan Gedong Woloe. Salah satu bangunan yang cukup menarik minat kami adalah rumah kuno di sudut perempatan Gedong Woloe. Karya arsitektur lawas yang tepat berada diseberang SMAN 1 Pasuruan ini menjadi aksentuasi dengan bentuk tower menjulang di salah satu sisinya. Berbekal izin dan sambutan baik dari empunya rumah, kami kembali ngemper diatas trotoar, beraksi menggores pensil dan menyapu warna diatas kertas. Satu jam waktu yang cukup untuk menyelesaikan karya kami.

Rute berlanjut menuju Jl. Hasanuddin, tepatnya gedung Yayasan Pancasila dengan halaman depannya yang cukup luas, view sketsa semakin leluasa. Sambutan dari adik-adik Sekolah Dasar awalnya agak menghambat aktivitas kami, syukurnya saya dan kawan-kawan sudah terbiasa dengan hal ini. Justru kami semakin appresiatif dan mengajak mereka untuk larut dalam kegiatan, sekaligus mengenalkan hobby menggambar dan mengedukasi mereka dengan beberapa tips sketsa singkat. 

Usai mendokumentasikan karya kami, destinasi berikutnya adalah Rumah Singa yang juga masih di sekitaran Jl. Hasanuddin. Sayangnya kami tidak mendapat izin lebih leluasa untuk mendokumentasikan destinasi populer ini. Maklum karena alasan privasi, akhirnya kami sepakat mendokumentasikan dari seberang jalan. 

Tak terasa hari semakin sore, setelah beristirahat dan makan siang sembari berjalan santai disekitar alun-alun kota Pasuruan. Rute puncak kami adalah gedung Yayasan Kejuruan Untung Surapati atau lebih dikenal dengan sebutan Gedung Harmoni. Kebetulan kami disambut baik dan dipersilahkan berkegiatan di halaman gedung yang letaknya persis berhadapan dengan Taman Kota ini. 

Rasa letih dan lelah setelah terforsir seharian, kembali berkurang dan berganti dengan semangat untuk menyelesaikan karya sketsa kami sebelum senja. Gedung ini masih dipergunakan sebagai bangunan fasilitas pendidikan. Halaman depannya kerap dipakai berkegiatan outdoor siswa sekolah. Kebetulan sore itu masih ada kegiatan olahraga dan senam siswa sebelum jam sekolah berakhir. Maka kami betul-betul memanfaatkan waktu yang tersisa untuk menyelesaikan karya. 

Sementara kami fokus dengan pensil dan cat air, kawan-kawan dari penggiat Heritage/Sejarah dan Urban Selfie asyik bergelut dengan kamera mereka masing-masing. Tema Bangunan Tua kali ini benar-benar menjadi benang merah untuk kami berkolaborasi. "Taadaaa...." Hampir dua jam berjuang, kami menyelesaikan karya. Dan seperti biasanya, menjelang akhir kegiatan kami kerap berfoto bersama, sekaligus mengikutsertakan karya masing-masing dengan latar bangunan yang menjadi obyek sketsa. '



Akhirnya hari itu kami sukses membingkai beberapa sudut Kota Tua Pasuruan dalam Sketsa, antusiasme teman-teman dari Surabaya dan Jogja adalah kepuasan tersendiri bagi saya sebagai warga Pasuruan. Tentunya kami senantiasa menanti kolaborasi selanjutnya dari UrbanSketch, UrbanSelfie, dan HeritageTraveler untuk berkarya dan berkegiatan positif di lain waktu.


Read more

Air Terjun Sumber Nona

Terletak di Desa Kalipucang, kecamatan Tutur Nongkojajar Pasuruan, sebuah Air Terjun yang memiliki seribu cerita unik. Air terjun ini memiliki tiga terjunan dan satu sumber mata air terjunan yang kerap disebut sumber lanang, sumber ini berada di tebing dan airnya turun seperti air terjun walaupun debit airnya tidak besar.
Pada masa lalu sumber ini adalah satu satunya sumber yang ada dan pipergunakan sebagai air minum warga, kemudian terjadi terjadi peristiwa banyak lelaki desa tidak bisa memiliki keturunan setelah meminum air dari sumber ini, setelah diteliti ternyata air ini mengandung minera logam berat yang berpengaruh terhadap sistem reproduksi. sejak sat itu warga tidak lagi meminum air dari sumber lanang, kemudian hanya digunakan untuk mandi dan ternyata banyak yang meyakini setelah mandi dari air sumber ini orang-orang yang memiliki penyakit dalam dapat disembuhkan.



sumber ini terletak dibagian didinding barat Air terjun sumber Nona, Air terjunnya sendiri memiliki cerita dibalik nama yang disandangnya. Masyarakat sekitar menyebut sumber nona karena pada jaman dahulu air terjun ini digunakan sebagai tempat mandinya nonik-nonik belanda, pada suatu ketika ada nonik belanda yang dibunuh di di air terjun ini ketika mandi, sejak saat itu air terjun yang memiliki sumber mata air ini disebut air terjun sumber nona.


Kontur dari air terjun ini juga terbilang menarik karena memiliki tiga terjunan pada bagian terjunan terbawah dengan ketinggian kurang lebih 20meter dan memiliki sumber mata air di di dinding barat yang diyakini dapat menyembuhkan penyakit dalam, di tingkat selanjutnya terjunan diatasnya terdapat beberapa gua walaupun tidak terlalu tinggi gua-gua tersebut diyakini sebagai tempat pertapa, di gua sebelah barat diyakini sebagai pintu penghubung dengan pantai selatan, gua yang terdapat di tengah tertutup air diyakini sebagai tempat pertapa, gua sebelah utara pernah menjadi sarang macan, dan bahkan sampai sekarang diyakini masih ada tapi hanya keluar ketika malam, gua dibagian tengah air terjun sebelah kiri diyakini sebagai sarang dari ular sebesar pohon kelapa.
Bagian terjunan paling atas walaupun sebenarnya bagian ini adalah terjunan paling tinggi dari yang lainnya, menurut masyarakat sekitar adalah bagian paling berbahaya, karena kedalaman kedungnya (daerah genangan air bagian bawah terjunan) memiliki kedalaman diatas 30 meter, karena beberapa masyarakat pernah mencoba untuk mengukur dengan dua batang bambu yang disambung tapi masih belum menyentuh dasarnya.

Catatan : Kesadaran akan pentingnya keindahan dan kelestarian alam adalah partisipasi penting dalam mewujudkan pariwisata yang berkelas. sebagai saran Berwisatalah dengan bijak, jagalah selalu kebersihan lingkungan, jagalah air kita, buanglah sampah pada tempatnya, jangan merusak fasilitas umum dan janganlah mencorat coret selain di buku dan di papan tulis. dengan begitu anda telah berpartisipasi menjaga kebersihan dan keindahan obyek wisata agar bisa selalu kita nikmati bersama.


Read more

Cerita dibalik keramahan tengger

Dibalik keramahan masyarakat tengger yang mempunya cara hidup sedikit berbeda dari masyarakat lainnya, masyarakatnya yang selalu memegang teguh adat istiadat dan budaya lokal tersimpan cerita sejarah besar asal usul namanya, yang dimulai dari Kisah perjalanan hidup putra dari Ki Ageng Pramono, salah satu dari sekian banyak nama besar yang menjadi rentetan sejarah kebesaran Kerajaan Majapahit.

Ketika Putra Ki Ageng Pramono yang bernama Joko Seger yang terkenal sakti mandraguna bersemedi dia mendapatkan petunjuk akan mendapatkan jodoh di puncak Gunung Wigar, karena Joko Seger terlalu memikirkan petunjuk tersebut akhirnya badannya menjadi kurus(dalam bahasa jawa kuno : Gusik), maka daerah tempatnya itu kemudian disebut dengan desa Gersik (berasal dari Joko Seger Gusik), kemudian Joko seger melangkah memulai perjalannnya menuju Gunung Wigar untuk mencari jodahnya sesuai dengan petunjuk yang telah diterimanya, dalam perjalannya Joko Seger yang tidak tahu arah kebingungan kemudian bersemedi lagi mencari petunjuk dan dengan kesaktiannya membuat sebuah pura, hanya dengan sekali ucap langsung terbentuklah sebuah pura di depannya, dengan peristiwa itu maka kemudian daerah sekitar pura tersebut disebut dengan Puradadi (Pura=tempat ibadah agama hindu, dadi=jadi/berbentuk) atau sekarang lebih dikenal dengan Purwodadi.

setelah itu Joko seger kemudian melanjutkan perjalanan lagi, di dalam perjalannya terjadi hujan yang sangat lebat yang menyebabkan jalan menjadi licin dan berakibat joko seger terjatuh (dalam Bahasa Jawa = Tibo), maka daerah sekitar tempatnya terjatuh kemudian diberi nama Desa Gerbo (berasal dari Joko seger Tibo), Joko seger melanjutkan perjalannya kembali sampai tiba rasa lelah dan kantuknya, lalu dia beristirahat di bawah pohon nangka yang berjajar, maka kemudian daerah sekitar tempatnya istirahat disebut dengan desa Nongkojajar.

setelah cukup beristirahat Joko Seger melanjutkan perjalanan kembali dan sampailah di sebuah perguruan atau jaman dulu disebut mahardi, perguruan yang terlihat besar ini memiliki banyak sekali cantrik (dalam Bahasa Jawa artinya Pembantu), ketika Joko Seger sampai di perguruan tersebut para cantrik sedang beristirahat tidur bergeletakan di lantai terlihat seperti batu karang maka kemudian daerah tersebut di kenal dengan desa Karang Kletak. Joko seger melanjutkan kembali perjalannya kemudian bertemu dengan seorang yang sedang bertapa di atas air di tengah hutan, karena Joko Seger juga sering bersemedi dan menganngap bertapa/bersemedi adalah sebuah pengabdian kepada sang hyang jagad nata maka daerah tersebut kemudian diberi nama dengan Ngadiwono (Ngadi/Ngabdi = Pengabdian, Wono = Hutan), di daerah itu juga dia bertemu dengan seseorang dari desa lain yang bernama Purwono seorang yang menemukan warangka dari jimat antakusuma kemudian desa tempat tinggalnya disebut dengan desa Purwono, sedangkan jimat antakusuma sendiri sedang beri sesaji dengan diberikan wewangian berupa asap kemenyan, maka kemudian daerah tempat jimat itu berada disebut dengan desa tosari (tosan=kemenyan, sari=asap/saripati) yang berarti mengambil sari dari kemenyan. Perjalan masih berlanjut saat Joko seger berada didepan hutan yang lebat dan disitu terdapat jalan yang berputar maka kemudian daerah tersebut dikenal dengan desa wonokitri (Wono=Hutan, Kiteri=mengelilingi), saat dia bertemu dengan seorang pertapa dia mendapatkan ilmu pencerahan maka daerah tersebut kemudian diberinama Ngadisari (Ngadi/ngabdi=pengabdian, Sari = intisari dari Ilmu yang kebaikan).

Karena masih belum ketemu jodohnya Joko seger melanjutkan kembali perjalannaya dan bertemu dengan Rsi Mahasatu sedang membuat sebuah gubug beratap pelepah daun kelapa (Klakah) maka daerah itu kemudian diberi nama Desa Gubug Klakah, disitu juga terdapat seseorang wanita yang baru saja melakukan selamatan di tempat Rsi Mahasatu dengan membawa tumpeng, lalu Joko seger memberi nama desa tempat wanita itu tinggal dengan nama Tumpang, dalam perjalanannya JokoSeger kembali tersesat ditengah hutan di situ terdapat banyak sekali pohon Jarak yang hijau segar, lalu dia memberi nama tempat tersebut Jarak Ijo.

Kemudian Joko seger melanjutkan kembali perjalaannya sampai di Gunung Wigar dia bertemu dengan Dewi Roro Anteng, karena sesuai dengan petunjuk yang diterimanya lalu Joko seger melamar Dewi Roro Anteng, dia menceritakan perjalannya kepada Dewi Roro Anteng dan untuk mengenang perjalanan itu Joko Seger Memberi nama seluruh daerah yang telah dilaluinya dengan sebutan Tengger yang di ambil dari Nama Dewi Roro Anteng dan Joko Seger.Dalam sewindu pernikahannya, mereka masih belum mendapatkan keturunan, karena itu mereka berdua melakukan semedi, bertapa dan memberikan sesaji di puncak Gunung Wigar untuk meminta keturunan kepada sang hyang jagadnata, dalam semedinya mereka di datangi makhluk penguasa kawah dewi pamongah dan kawah brojo panoleh gunung wigar, dia menawarkan memberi bantuan kepada Dewi Roro Anteng dan Joko Seger, tapi dengan syarat salah satu dari keturuannya di persembahkan untuk kawah Gunung Wigar kalau tidak mereka sendiri yang akan menjadi korban luapan kawah dewi pamongah dan kawah brojo panoleh, Mahluk itu menyuruh Dewi Roro Anteng dan Joko Seger untuk memejamkan mata, dan dalam sekejab dewa Brahma datang turun bagaikan kilatan dan memberikan mereka keturunan sebanyak 25 orang.

Sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bahwa harus ada salah satu dari keturuannya yg d korbankan, mereka meminta putra sulungnya yang bernama Tumenggung Kluwung untuk memenuhinya, tapi Tumenggung Kluwung menolak, Dewi Roro Anteng dan Joko Seger bingung, akhirnya putra bungsunya yang bernama Prabu Entang Antakusuma atau dikenal dengan Dewi Sukma atau Dewi Antasukma tapi dia sebelumnya dia memberikan permintaan terakhir, yaitu setelah dirinya dikorbankan, dia ingin setiap tanggal 15 Bulan Kasada (Kedua Belas) dia minta kiriman sesaji berupa palawija, dan setelah ini Gunung Wigar akan disebut Gunung Bromo, karena yang memberi keturunan adalah Dewa Brahma. Setelah dikorbankan Dewi Sukma menjadi bidadari yang cantik, yang menarik Bima untuk dipersunting, tapi dewi sukma memberikan Syarat untuk membuatkan segara (lautan) sebelum ayam berkokok, baru sebentar Bima menggali baru sebatok tanah ayam sudah berkokok, bima melemparkan batoknya dan membentuk menjadi gunung yang kemudian disebut Gunung Batok.

Suatu hari Dewi Roro Anteng dan Joko Seger mengumpulkan semua anaknya mereka memberikan wejangan kepada kedua puluh empat anaknya, Dewi Roro Anteng dan Joko Seger berpesan karena mereka sudah terlalu tua, cepat atau lambat mereka akan mangkat meninggalkan anak-anaknya, Dewi Roro Anteng dan Joko Seger ingin sepeninggal mereka anak-anaknya tetap mengenang perjalanan mereka, dan memperingatinya dengan selamatan untuk keduanya, dalam bahasa jawa kedua itu berarti Karo, maka peringatan itu selanjutnya disebut dengan Hari Raya Karo, setelah mengatakan maksudnya tiba-tiba Dewi Roro Anteng meninggal dan jasadnya menghilang dalam bahasa jawa Muksa Kertaning Bhumi dan diterima oleh 144 bidadari, akhirnya tempat muksa Dewi Roro Anteng tersebut diberi nama dengan Widodaren (Bahasa Jawa, artinya tempat para bidadari).

Sampai saat ini masyarakat tengger yang sebagian besar adalah pemeluk agama hindu selain hari raya yang umum seperti Kuningan, Galungan, dan yang lainnya juga memperingati Hari Raya Kasada dan Hari Raya Karo, tidak terkecuali yang beragama islam, maupun yang lainnya. Peringatan Kedua Hari Raya ini menjadi sebuah kebudayaan lokal dan peraturan adat bagi masyarakat tengger yang selalu menjadi perhatian masyarakat luas sebagai salah satu aset Berupa kearifan lokal, terutama Hari Raya Kasada yang selalu mampu menarik perhatian para wisatawan baik lokal maupun internasional.

Sumber : Pak Atmojo (Tetua adat tengger)


Read more

Coban Blarang

 Kawasan wisata Nongkojajar menawarkan banyak pesona yang menakjubkan, kekayaan alam, tanah yang subur, ragam komoditi unggulan buah, sayur dan susu, kultur dan adat istiadat serta masyarakat yang ramah, dan sejuta pesona dari panorama alam.

Udara sejuk dan panorama alam yang mempesona adalah sajian istimewa yang memanjakan kita selama kita berada dikawasan ini, banyaknya air terjun juga menjadi kekayaan tak ternilai seperti air terjun yang dikenal dengan sebutan Coban Blarang ini.

Disebut Coban Blarang karena air terjun ini terletak disekitar pertigaan Blarang dan wonosari air terjun ini memang tidak terlalu tinggi tapi memiliki keindahan tersendiri dengan kontur yang bertingkat. Air terjun ini merupakan obyek air terjun dikawasan nongkojajar yang paling mudah dijangkau, selain letaknya yang dekat dengan jalan air terjun ini juga memiliki track perjalanan yang ringan.

Coban Blarang merupakan salah satu pilihan bagi pengunjung di kawasan nongkojajar yang tidak menyukai track yang ekstrim, dengan berjalan kaki sebentar saja kita sudah bisa menikmati gemericik suara air terjun blarang.

Pesona air terjun ini juga semakin lengkap dengan panorama sekitar obyek dimana hutan pinus berada diatas kita, dan keramahan penduduk lokal yang sesekali menyapa kita.

Catatan : Kesadaran akan pentingnya keindahan dan kelestarian alam adalah partisipasi penting dalam mewujudkan pariwisata yang berkelas. sebagai saran Berwisatalah dengan bijak, jagalah selalu kebersihan lingkungan, jagalah air kita, buanglah sampah pada tempatnya, jangan merusak fasilitas umum dan janganlah mencorat coret selain di buku dan di papan tulis. dengan begitu anda telah berpartisipasi menjaga kebersihan dan keindahan obyek wisata agar bisa selalu kita nikmati bersama.


Read more

Grebeg Memitri

Masyarakat desa Wonosari di Kawasan wisata Tutur Nongkojajar memiliki tradisi tahunan yang unik dalam rangka memanjatkan rasa syukur kepada tuhan atas segalah anugrah yang di berikan melalui selamatan desa, selamatan desa ini sedikit berbeda dengan daerah yang lain.
Menurut cerita dari seorang tetua adat disana desa ini Pak Samian, selamatan desa yang dilakunan sudah turun temurun sejak jaman dahulu sebagai simbol perkembangan perekonomian desa yang pesat di tandai dengan pekmbangan pasarnya.
awal dari perkembangan perekonomian ini dimulai pada tahun 1914, pada saat itu pasar desa masih terletak di dusun Ngadipuro Desa Wonosari Kecamatan Tutur Nongkojajar, karena lahan yang sudah tidak memenuhi syarat lagi kemudian para tetua adat dan Petinggi Desa (Kepala Desa), kemudian memindahkan pasar ke dusun Wonosari yang dimaksudkan agar perekonomian desa semakin maju.
Perpindahan pasar dari dusun Ngadipuro ke Wonosari tersebut diiringi dengan selamatan desa yang pada saat itu masyarakat menyembelih seekor sapi yang dagingnya di bagikan kepada masyarakat desa sebagai hidangan selamatan yang dikemas dalam bentuk ancak, tapi bagian kepala sapinya diarak dari pasar lama menuju pasar baru untuk dikuburkan.

Prosesi tersebut dilakukan sebenarnya memiliki dasar dari cerita pewayangan dimana pada saat pandawa sedang mengalami masa sulit, mereka berdoa kepada dewa untuk diberikan makanan, tapi kemudian dewa menjawab dengan meminjami seekor sapi yang disebut lembu andini.
Seiring berjalannya waktu sapi tersebut beranak pinak sehingga menjadi banyak, untuk mewujudkan rasa syukurnya dan berterima kasih para pandawa berniat mengembalikan Sapi tersebut kepada dewa, tapi dewa menolak karena untuk megembalikan sapi tersebut bukan dengan cara yang sama saat menerimanya, kemudian dewa mengajari cara untuk mengembalikanya yaitu sebagai persembahan. Persembahan yang dimaksud adalah menyembelih sapi tersebut dan memberikan dagingnya kepada masyarakat, tapi bagian kepala sapinya disisahkan untuk upacara persembahan, dengan begitu dewa mau menerimanya.

Pada awalnya masyarakat desa Wonosari melakukan upacara yang sama, dilakukan setiap bulan sura (Penaggalan Jawa), pada saat itu masyarakat Desa masih belum terlalu banyak, karena populasi desa Wonosari meningkat kemudian kemudian ancak persembahannya diganti dengan jajanan pasar, tapi kepala sapinya masih dipertahankan. dan ketika menginjak tahun 1947 karena bertepatan dengan bulan Agustus atau bulan kemerdekaan Indonesia maka sejak saat itu selamatan desa dipindahkan pada bulan Agustus Penanggalan Masehi dilakukan dengan kirab ancak, yang pada saat itu Desa Wonosari dipimpin petinggi (Kepala Desa) pertama yang dipilih secara demokrasi, kemudian selamatan desa ini disebut dengan Grebeg Memitri.
Dalam perkembangannya Grebeg Memetri selain tujuan utama untuk selamatan desa kemudian dijadikan sebagai sarana untuk mempererat persaudaraan antar masyarakat agar tetap guyup, juga sebagai ajang kreatifitas dan pemberdayaan para pemudanya, yang dimaksudkan agar para generasi penerus memiliki tanggung jawab dan rasa memiliki terhadap budaya, adat istiadat yang sudah diturunkan oleh para leluhurnya. Terlihat dari beberapa kali pelaksanaan grebek ini sudah menggunakan tema-tema yang mempunyai inti pesan membangun masyarakat seperti Sura Dira Jayoa Ningrat Lebur Dining Pangastuti (artinya : sekuat apapun keburukan/kejahatan akan kalah dengan kebaikan), Jaya Wijayaning Nagari Lir Sakabehe Sambi Kala Gumantung Maring Astaning Gusti (artinya : Anugrah dan bencana suatu negara / wilayah semua tergantung ditangan tuhan), Kiprahing Janma Chandraning Nala (Artinya : perbuatan manusia itu adalah gambaran dari hatinya), Sak Yeg Sak Ekapraya Mbangun Desa (artinya : se-iya sekata dan bergotong royong membangun desa).



Read more
free counters
Photobucket