
Masyarakat
desa Wonosari di Kawasan wisata Tutur Nongkojajar memiliki tradisi
tahunan yang unik dalam rangka memanjatkan rasa syukur kepada tuhan atas
segalah anugrah yang di berikan melalui selamatan desa, selamatan desa
ini sedikit berbeda dengan daerah yang lain.
Menurut cerita dari
seorang tetua adat disana desa ini Pak Samian, selamatan desa yang
dilakunan sudah turun temurun sejak jaman dahulu sebagai simbol
perkembangan perekonomian desa yang pesat di tandai dengan pekmbangan
pasarnya.
awal dari perkembangan perekonomian ini dimulai pada
tahun 1914, pada saat itu pasar desa masih terletak di dusun Ngadipuro
Desa Wonosari Kecamatan Tutur Nongkojajar, karena lahan yang sudah tidak
memenuhi syarat lagi kemudian para tetua adat dan Petinggi Desa (Kepala
Desa), kemudian memindahkan pasar ke dusun Wonosari yang dimaksudkan
agar perekonomian desa semakin maju.
Perpindahan pasar dari dusun
Ngadipuro ke Wonosari tersebut diiringi dengan selamatan desa yang pada
saat itu masyarakat menyembelih seekor sapi yang dagingnya di bagikan
kepada masyarakat desa sebagai hidangan selamatan yang dikemas dalam
bentuk ancak, tapi bagian kepala sapinya diarak dari pasar lama menuju
pasar baru untuk dikuburkan.
Prosesi
tersebut dilakukan sebenarnya memiliki dasar dari cerita pewayangan
dimana pada saat pandawa sedang mengalami masa sulit, mereka berdoa
kepada dewa untuk diberikan makanan, tapi kemudian dewa menjawab dengan
meminjami seekor sapi yang disebut lembu andini.
Seiring
berjalannya waktu sapi tersebut beranak pinak sehingga menjadi banyak,
untuk mewujudkan rasa syukurnya dan berterima kasih para pandawa berniat
mengembalikan Sapi tersebut kepada dewa, tapi dewa menolak karena untuk
megembalikan sapi tersebut bukan dengan cara yang sama saat
menerimanya, kemudian dewa mengajari cara untuk mengembalikanya yaitu
sebagai persembahan. Persembahan yang dimaksud adalah menyembelih sapi
tersebut dan memberikan dagingnya kepada masyarakat, tapi bagian kepala
sapinya disisahkan untuk upacara persembahan, dengan begitu dewa mau
menerimanya.

Pada
awalnya masyarakat desa Wonosari melakukan upacara yang sama, dilakukan
setiap bulan sura (Penaggalan Jawa), pada saat itu masyarakat Desa
masih belum terlalu banyak, karena populasi desa Wonosari meningkat
kemudian kemudian ancak persembahannya diganti dengan jajanan pasar,
tapi kepala sapinya masih dipertahankan. dan ketika menginjak tahun 1947
karena bertepatan dengan bulan Agustus atau bulan kemerdekaan Indonesia
maka sejak saat itu selamatan desa dipindahkan pada bulan Agustus
Penanggalan Masehi dilakukan dengan kirab ancak, yang pada saat itu Desa
Wonosari dipimpin petinggi (Kepala Desa) pertama yang dipilih secara
demokrasi, kemudian selamatan desa ini disebut dengan Grebeg Memitri.
Dalam
perkembangannya Grebeg Memetri selain tujuan utama untuk selamatan desa
kemudian dijadikan sebagai sarana untuk mempererat persaudaraan antar
masyarakat agar tetap guyup, juga sebagai ajang kreatifitas dan
pemberdayaan para pemudanya, yang dimaksudkan agar para generasi penerus
memiliki tanggung jawab dan rasa memiliki terhadap budaya, adat
istiadat yang sudah diturunkan oleh para leluhurnya. Terlihat dari
beberapa kali pelaksanaan grebek ini sudah menggunakan tema-tema yang
mempunyai inti pesan membangun masyarakat seperti Sura Dira Jayoa
Ningrat Lebur Dining Pangastuti (artinya : sekuat apapun
keburukan/kejahatan akan kalah dengan kebaikan), Jaya Wijayaning Nagari
Lir Sakabehe Sambi Kala Gumantung Maring Astaning Gusti (artinya :
Anugrah dan bencana suatu negara / wilayah semua tergantung ditangan
tuhan), Kiprahing Janma Chandraning Nala (Artinya : perbuatan manusia
itu adalah gambaran dari hatinya), Sak Yeg Sak Ekapraya Mbangun Desa
(artinya : se-iya sekata dan bergotong royong membangun desa).
Post a Comment